Kamis, 28 Agustus 2008

Jenis atau bentuk golok (bedog ) sunda sangat beragam, karena tiap daerah di Tatar Sunda memiliki variasi bentuk tersendiri yang disesuaikan dengan kebutuhan, fungsi, dan karakteristik masing-masing masyarakat penggunanya.

Di Tatar Sunda ditemukan beberapa bentuk golok dengan nama yang sama namun bentuknya berbeda di daerah lain, serta sebaliknya bentuk golok yang sama tetapi memiliki sebutan nama yang berbeda di lain daerah.Pada tulisan ini nama sebutan dan bentuk golok menggunakan data dari golok sunda yang ada di Ciwidey Kabupaten Bandung Jawa Barat.

Berdasarkan kegunaan golok sunda dapat dibedakan menjadi dua, yaitu golok pakai/bedog gawé /pakakas, selanjutnya disebut dengan bedog gawé, dan golok sorén/golok silat/pakarang, selanjutnya disebut golok pakarang. Golok yang berupa pakarang digunakan untuk beladiri/berkelahi (silat) atau setidaknya sebagai ganggaman (pegangan) yang di-sorén dipinggang oleh para pendekar atau jawara (Banten, Betawi), oleh karena itu selalu memakai sarangka (sarung). Sedangkan bedog yang berupa pakakas ada yang memakai sarangka dan ada pula yang tidak.

Bedog Gawé

Berdasarkan fungsi dan penggunaannya bedog gawé dapat dikelompokkan menjadi :

Bedog Daging / Dapur

Bedog Kalapa

Bedog Pamilikan

Bedog Kebon

Bedog Sadap

Bedog Pamoroan

Golok Pakarang

Tidak ada perbedaan bentuk antara wilah bedog gawe dengan golok pakarang. Namun Golok pakarang selalu dilengkapi sarangka agar golok dapat di-soren. Golok pakarang umumnya dibuat sesuai dengan keinginan pemesannya, dibuat lebih halus, dan dihias (diberi ukiran).

Pakarang adalah senjata-senjata yang dibuat khusus untuk para raja dan petinggi-petinggi di lingkungan kerajaan. Dalam pembuatan pakarang tentu menggunakan bahan terbaik dan teknik khusus. Ciri fisik dari pakarang yang mudah terlihat adalah pamor pada bilah pakarang seperti keris, kujang dan golok. Pamor adalah bentuk logam hasil olahan dari pencampuran sejumlah jenis logam yang berbeda, yang ditempa dan dilipat menjadi satu sehingga menghasilkan tekstur/pola tertentu pada permukaannya. Pakarang yang menggunakan besi pamor akan lebih kuat dan awet karena besi hasil olahan ini telah ’matang’ dibandingkan dengan besi/ logam biasa. Unsur estetika pada golok pakarang lebih diperhatikan dibandingkan dengan bedog gawe yang lebih mengutamakan unsur fungsi. Penekanan pada unsur estetika atau ornamen tentunya sedikit banyak mengurangi fungsionalitas golok sebagai perkakas.

Golok pakarang berpamor tidak dijumpai sebanyak keris dan kujang, kemungkinan bentuknya yang besar dan sederhana kalah artistik dengan kujang dan keris, sehingga tidak banyak dibuat. Namun golok berpamor yang disebut dengan golok sulangkar masih dibuat dan dapat jumpai terutama di Ciomas Banten, walaupun pembuatannya hanya setahun sekali yaitu pada tanggal 14 Maulud penanggalan Islam.

Golok atau bedog sunda sangat beragam, karena tiap daerah di Jawa Barat memiliki variasi bentuk tersendiri yang disesuaikan dengan kebutuhan, fungsi, dan karakteristik masing-masing masyarakat penggunanya. Golok (bedog) sunda umumnya memiliki bilah dengan panjang lebih kurang 30 cm sampai dengan 40 cm, namun ada pula bilah golok yang berukuran pendek atau kurang dari 30 cm. Golok (bedog) sunda yang memiliki panjang bilah lebih dari 40cm disebut kolewang atau gobang.

Bagian utama dari sebuah golok adalah bilah (wilah) dan penamaan golok umumnya berdasarkan pada bentuk bilahnya yang terbuat dari campuran besi dan baja. Bahan baku yang umum digunakan oleh pengrajin golok di Jawa Barat saat ini adalah lempengan per bekas mobil. Bahan ini relatif mudah didapat di tempat penjualan besi bekas. Per mobil bekas digunakan selain karena lebih murah dari bahan baku yang baru, juga karena merupakan campuran besi dan baja yang cocok untuk golok.

Bilah golok dimulai dari buntut atau paksi, yaitu bagian ekor pada pangkal bilah yang dimasukkan pada pegangan golok (perah). Badan bilah terdiri dari perut (beuteung), yaitu bagian sisi yang tajam. Sedangkan bagian yang tumpul dinamakan punggung (tonggong). Ujung bilah golok disebut dengan congo.

Punggung bilah golok sunda ada yang lurus ada pula yang berpunggung melengkung atau dalam istilah sunda bentik.

Golok sunda umumnya memiliki bentuk gagang atau perah yang melengkung dan memiliki ujungnya berbentuk bulat (eluk). Bentuk perah yang agak miring dan melengkung berfungsi agar golok dapat digenggam dengan kuat dan nyaman. Bentuk ujung perah yang bulat berfungsi agar jari kelingking terkait, menahan genggaman tangan agar tidak lepas tergelincir.

Perah kebanyakan dibuat dari bahan kayu dan tanduk kerbau, selain itu juga digunakan tanduk rusa dan tulang hewan sesuai dengan permintaan.

Sarung golok disebut sarangka, fungsi utamanya adalah agar golok dapat mudah dan aman untuk dibawa, diselipkan (disoren) dipinggang. Bentuk sarangka mengikuti bentuk bilah di dalamnya, bila bentuk bilah melengkung maka bentuk perah pun dibentuk melengkung.

Seperti perah, sarangka juga umumnya terbuat dari kayu. Adapula ditemukan sarangka yang terbuat dari kulit hewan, tetapi ini sangat jarang. Sarangka yang dilengkapi dengan asesoris tambahan berupa gelang-gelang pengikat (simpay) yang terbuat dari tanduk kerbau atau lembaran logam yang disebut dengan barlen.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka tahun 2005, golok adalah sejenis parang atau pedang yang berukuran pendek. Sedangkan parang sendiri adalah pisau besar namun lebih pendek dari pedang:

Sedangkan arti golok dalam Kamus Umum Basa Sunda oleh Lembaga Basa & Sastra Sunda (Penerbit Tarate Bandung tahun 2000), golok adalah bedog, perabot atau alat untuk memotong.

Dalam Ensiklopedi Sunda (Pustaka Jaya 2000) diuraikan pengertian bedog yang merupakan nama alat tajam dari besi baja, ada yang berupa pakakas (perkakas) dan ada yang berupa pakarang (senjata). Bedog, baik yang berupa pakakas maupun yang berupa senjata, dalam bahasa Indonesia disebut golok atau parang.

Dari uraian baik dalam kamus maupun ensiklopedi pengertian golok adalah sama dengan bedog. Golok adalah istilah atau nama dalam bahasa Indonesia untuk perkakas atau senjata tajam yang terbuat dari besi baja, yang dalam bahasa Sunda disebut bedog.

Melengkapi pengertian golok dari kamus dan ensiklopedi diatas, secara fisik golok (bedog dalam bahasa sunda, bendo dalam bahasa jawa, parang bahasa melayu) adalah nama alat yang termasuk ke dalam perkakas dan senjata tajam, ukurannya lebih besar dari pisau namun lebih pendek dari pedang, memiliki bilah tebal dan lebar yang terbuat dari logam.

Pada lembar ke XVII naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian dinyatakan sebagai berikut:

Sa(r)wa lwir[a] ning teuteupaan ma tĕlu ganggaman palain.

Ganggaman di sang prabu ma: pĕdang, abĕt, pamuk, golok, peso teundeut, kĕris. Raksasa pina[h]ka dewanya, ja paranti maehan sagala.

Ganggaman sang wong tani ma: kujang, baliung, patik, kored, sadap. Dĕtya pina[h]ka dewanya, ja paranti ngala kikicapeun iinumeun.

Ganggaman sang pandita ma: kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi. Danawa pina[h]ka dewanya, ja itu paranti kumeureut sagala.

Nya mana tĕluna ganggaman palain deui di sang prĕbu, di sang wong tani, di sang pandita. Kitu lamun urang hayang nyaho di sarean(ana), eta ma panday tanya.

Sa(r)wa lwir[a] ning ukir ma: dinanagakeun, dibarongkeun, ditiru paksi, ditiru were, ditiru singha; sing sawatek ukir-ukiran ma, marangguy tanya.[1]

Terjemahan:

Segala macam hasil tempaan, ada tiga macam yang berbeda.

Senjata sang prabu ialah: pedang, abet (pecut), pamuk, golok, peso teundeut, keris. Raksasa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk membunuh.

Senjata orang tani ialah: kujang, baliung, patik, kored, pisau sadap. Detya yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengambil apa yang dapat dikecap dan diminum.

Senjata sang pendeta ialah: kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi. Danawa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengerat segala sesuatu.

Itulah ketiga jenis senjata yang berbeda pada sang prabu, pada petani, pada pendeta. Demikianlah bila kita ingin tahu semuanya, tanyalah pandai besi.

Segala macam ukiran ialah: naga-nagaan, barong-barongan, ukiran burung, ukiran kera, ukiran singa, segala macam ukiran, tanyalah maranggi.[2]

(Danasasmita, Saleh & dan kawan-kawan, Sanghyang Siksakandang Karesian Transkripsi dan Terjemahan, Dirjen Kebudayaan Depdikbud, Bandung, 1987: halaman 84, 107-108)

Berdasarkan isi naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian didapatkan informasi bahwa setidaknya pada tahun 1518 di Kerajaan Pajajaran, ada sejenis senjata yang khusus dimiliki atau senjata pegangan sang prabu (golongan bangsawan, ksatria, raja) yang disebut dengan golok.

Sejarah Singkat Kujang

Kujang, Simbol Kekuasaan Jabar

TUGU Kujang Baleendah Kabupaten Bandung yang kondisinya dalam keadaan rusak. Jika dilihat dari buku-buku resmi yang menjelaskan arti lambang provinsi, makna kujang itu masih sangat terbatas. Karena hingga hari ini, buku yang secara khusus membahas kujang pun belum ada yang diterbitkan. Padahal, simbol kujang itulah yang secara spesifik menyambungkan Provinsi Jabar dengan identitas kesundaan.

“Heh, ieu pakarang tandang, kujang titilar karuhun! Tanjeurkeun!” Oto Iskandar di Nata (1933).

Amanat Oto Iskandar di Nata (Otista) di atas terkesan sangat patriotik. Seolah menjadi pesan sebelum para pemuda Pasundan turun ke gelanggang peperangan. “Heh, inilah senjata perang, kujang peninggalan leluhur. Hunuslah!” Tanpa membawa kujang, sebuah pertarungan seakan menjadi tidak afdol. Perang apakah yang berlangsung saat itu? Ternyata, amanat itu untuk pengelola koran Sipatahoenan. Disampaikan saat koran Sunda terbesar sepanjang sejarah itu berulang tahun yang ke sepuluh. Mengapa kujang disebut untuk memberi semangat pengelola koran? Rupanya, agar Sipatahoenan tangguh “berperang” di lapangan jurnalistik, khususnya dalam menghadapi lembaga pers Belanda.

Penyebutan kujang bagi pengelola koran adalah anjuran agar mereka bisa menulis secara tajam, menyuarakan kebenaran. Dalam konteks saat itu, para jurnalis diharapkan agar mampu melindungi pihak yang lemah, membasmi setiap racun dalam kehidupan bermasyarakat, mengabdi kepada keadilan, dan menerangkan persoalan yang gelap. Amanat itu tetap relevan sampai saat ini.

Amanat Otista itu menunjukkan keterikatan orang Sunda kepada kujang. Kujang dianggap sebagai penyambung antara masa bihari dan kiwari. Dengan menyebut kujang, seorang Sunda diharapkan akan mengingat jatidirinya. Selalu kembali kepada identitas primordialnya yang dihidupi oleh alam. Dengan alam yang kaya itu bisa dipahami kalau orang Sunda cenderung defensif, tidak terpacu untuk berperang. “Tak ada alasan untuk beperang. Negeri kita sungguh sangat subur makmur,” kata budayawan Sunda, Lalam Wiranatakusumah. Dalam bahasa lain, seraya mengutip Pantun Bogor, Anis Djatisunda menyebutkan, “Sunda Pajajaran lain mudu pinter perang, tapi mudu pinter diperangan. Sunda Pajajaran bukan harus pandai berperang, tapi mesti cerdik saat diperangi.”

Demikianlah, kujang yang pada awalnya sebagai pakarang petani, di era kemudian bermetamorfosis mengiringi hajat hidup masyarakat Sunda. Zaman silih berganti tetapi kujang tetap diingat dengan berbagai penyesuaian makna.

Spirit melemah

Kehidupan kita sering diibaratkan dengan sebuah peperangan. Setelah perang fisik di era kemerdekaan, kita lalu memasuki perang ideologi. Di era global kini, kita dihadapkan pada perang budaya dan ekonomi. Apakah menyebut kujang masih relevan untuk itu?

Kujang memang bukan senjata untuk perang fisik, apalagi ideologi, budaya, dan ekonomi. Kujang adalah penjaga spirit orang Sunda. Dalam pandangan peneliti kujang, Tedi Permadi, “Kujang pamor sebagai sebuah gagaman atau pusaka, umumnya tidak digunakan secara langsung dalam sebuah perkelahian. Kujang biasanya dijadikan sebagai teman berperang (batur ludeung) atau senjata pamungkas di samping sebagai simbol dari si pemegangnya.”

Dalam perang apa pun, spirit dan semangat adalah yang utama. Senjata canggih memang penting, tetapi the man behind the gun, jauh lebih penting. Bagi orang Sunda, semangat keberanian itu telah diwariskan leluhurnya melalui simbol kujang. Sebagai generasi penerus Sunda kita dipenuhi oleh simbolisasi kujang itu. Menjadi wartawan, diingatkan pada kujang. Pergi bertempur melawan tentara Belanda, dibekali kujang. Dalam kecamuk perang ideologi, membela diri dengan koran bernama Kudjang.

Kini, dalam perang ekonomi dan budaya, spirit kujang itu terasa melemah. Apakah karena kujang secara fisik telah hilang dari bumi Pasundan dan dijual kepada kolektor asing? Ataukah para intelektual Sunda merasa tak peduli karena meremehkan nilainya? Gugatan pada melemahnya spirit hidup orang Sunda, saat ini semakin menguat. Buku mutakhir Judistira K. Garna (2008), Budaya Sunda Melintas Waktu Menantang Masa Depan, menjadi contohnya, bahwa etos kerja orang Sunda modern itu “melemah”. Daya tahan ekonomi orang Sunda berhenti pada generasi ketiga. Karena daya tahan ekonomi lemah, maka daya tahan budaya pun ikut melemah. Maka “terbanglah” pusaka-pusaka Sunda itu ke negeri asing ditukar lembaran dolar. Dan tinggallah orang Sunda menyesali, nganaha-naha, lalu menyalahkan orang lain.

Beruntung, kita masih memiliki sejumlah kolektor pituin Sunda, yang mengoleksi kujang karena kecintaan semata. Bukan karena uang melimpah atau untuk mengangkat gengsi hidup. Di tangan merekalah secara fisik, kujang diselamatkan. Dari koleksi fisik kujang itu pula diharapkan spiritnya dapat digali kembali.

Maka tidak salah jika Otista (1938) pernah berpesan, “Nonoman Sunda, geuwat bareunta, geuwat kukumpul tanaga jeung pakarang, nu diwangun ku kaweruh pangpangna adat tabeat anu kuat, nyaeta: kawekelan, kadaek, kakeyeng, karep jeung kawanen. Upama teu kitu, lapur, tanwande Nonoman Sunda kadeseh dina juritna pikeun neangan kahirupan. Para pemuda Sunda, cepat buka mata, cepat kumpulkan tenaga dan senjata, yang dibangun dengan pengetahuan adat tabiat yang kuat, yaitu: kesungguhan, kemauan, ketekunan, niat yang kuat dan keberanian. Kalau tidak demikian, akan sia-sia, pasti pemuda Sunda terdesak di medan perang dalam mencari penghidupan.”

Kekuasaan simbolik

Kini, kujang tetap menjadi bagian dari lambang Provinsi Jabar. Kujang menjadi bagian dari simbol politik kekuasaan tertinggi di Jabar. Gambar kujang ikut tersebar sejauh jangkauan para penguasa Gedung Sate. Jika orang Jabar melihat lambang kujang itu, ia akan menyadari dirinya, bahwa ia bagian dari Sunda. Oleh karena itu, sudah sepantasnya jika ia terdorong pula untuk ikut memuliakan kekayaan budaya Sunda. Setidaknya, ia termotivasi untuk bisa berbicara dalam bahasa Sunda.

Namun, apakah keberadaan kujang itu masih bermakna? Apakah masyarakat Jabar tahu maksudnya? Apakah para “penghuni” Gedung Sate tahu arti kujang dalam lambang itu?

Kalau dilihat dari buku-buku resmi yang menjelaskan arti lambang provinsi, makna kujang itu masih sangat terbatas. Sampai hari ini, buku yang secara khusus membahas kujang pun belum ada yang diterbitkan. Padahal, simbol kujang itulah yang secara spesifik menyambungkan Provinsi Jabar dengan identitas kesundaan. Sebab simbol lainnya lebih bersifat umum, yang bisa jadi ada dan dipakai di wilayah lain.

Jadi, apakah selama ini para penguasa Gedung Sate dan masyarakat Sunda telah “mengabaikan” simbol spiritnya sendiri? Dalam arti luas, apakah mereka kurang peduli kepada kelangsungan kebudayaannya sendiri? Maksudnya, perhatian yang fundamental, yang bukan sekadar seremoni. Contohnya seperti buku tentang kujang itu, mengapa belum ada, padahal sudah jadi lambang provinsi? Jawabannya, tentu bukan siapa yang salah, melainkan apa yang bisa kita perbuat untuk itu.

Sekarang, kita akan memiliki pemimpin baru hasil pemilu langsung yang pertama. Mari, kita mulai menggarap hal-hal yang fundamental itu. Menjelaskan lambang provinsi secara komprehensif, bisa menjadi langkah perdana. Agar visi-misi pemimpin Jabar mendatang tetap membumi, tidak mengambang dan mengawang-awang.

Munculnya kujang dalam lambang provinsi itu tentu bukan tanpa makna. Bukan hanya identitas Sunda yang kosong. Nah, apakah Gubernur dan Wakil Gubernur Jabar yang terpilih kali ini sudah mamahami makna simbolik kujang itu? Bahwa sebagai lambang, kujang itu bukan hanya menunjuk pada tegaknya kekuasaan, melainkan juga mengingatkan bahwa ia adalah pakarang para petani. Petani adalah mayoritas rakyat Jabar. Memahami makna kujang dengan benar, akan mengantar pemimpin Jabar untuk tegas memimpin sekaligus mengayomi rakyatnya. Begitukah?