Kamis, 28 Agustus 2008

Sejarah Singkat Kujang

Kujang, Simbol Kekuasaan Jabar

TUGU Kujang Baleendah Kabupaten Bandung yang kondisinya dalam keadaan rusak. Jika dilihat dari buku-buku resmi yang menjelaskan arti lambang provinsi, makna kujang itu masih sangat terbatas. Karena hingga hari ini, buku yang secara khusus membahas kujang pun belum ada yang diterbitkan. Padahal, simbol kujang itulah yang secara spesifik menyambungkan Provinsi Jabar dengan identitas kesundaan.

“Heh, ieu pakarang tandang, kujang titilar karuhun! Tanjeurkeun!” Oto Iskandar di Nata (1933).

Amanat Oto Iskandar di Nata (Otista) di atas terkesan sangat patriotik. Seolah menjadi pesan sebelum para pemuda Pasundan turun ke gelanggang peperangan. “Heh, inilah senjata perang, kujang peninggalan leluhur. Hunuslah!” Tanpa membawa kujang, sebuah pertarungan seakan menjadi tidak afdol. Perang apakah yang berlangsung saat itu? Ternyata, amanat itu untuk pengelola koran Sipatahoenan. Disampaikan saat koran Sunda terbesar sepanjang sejarah itu berulang tahun yang ke sepuluh. Mengapa kujang disebut untuk memberi semangat pengelola koran? Rupanya, agar Sipatahoenan tangguh “berperang” di lapangan jurnalistik, khususnya dalam menghadapi lembaga pers Belanda.

Penyebutan kujang bagi pengelola koran adalah anjuran agar mereka bisa menulis secara tajam, menyuarakan kebenaran. Dalam konteks saat itu, para jurnalis diharapkan agar mampu melindungi pihak yang lemah, membasmi setiap racun dalam kehidupan bermasyarakat, mengabdi kepada keadilan, dan menerangkan persoalan yang gelap. Amanat itu tetap relevan sampai saat ini.

Amanat Otista itu menunjukkan keterikatan orang Sunda kepada kujang. Kujang dianggap sebagai penyambung antara masa bihari dan kiwari. Dengan menyebut kujang, seorang Sunda diharapkan akan mengingat jatidirinya. Selalu kembali kepada identitas primordialnya yang dihidupi oleh alam. Dengan alam yang kaya itu bisa dipahami kalau orang Sunda cenderung defensif, tidak terpacu untuk berperang. “Tak ada alasan untuk beperang. Negeri kita sungguh sangat subur makmur,” kata budayawan Sunda, Lalam Wiranatakusumah. Dalam bahasa lain, seraya mengutip Pantun Bogor, Anis Djatisunda menyebutkan, “Sunda Pajajaran lain mudu pinter perang, tapi mudu pinter diperangan. Sunda Pajajaran bukan harus pandai berperang, tapi mesti cerdik saat diperangi.”

Demikianlah, kujang yang pada awalnya sebagai pakarang petani, di era kemudian bermetamorfosis mengiringi hajat hidup masyarakat Sunda. Zaman silih berganti tetapi kujang tetap diingat dengan berbagai penyesuaian makna.

Spirit melemah

Kehidupan kita sering diibaratkan dengan sebuah peperangan. Setelah perang fisik di era kemerdekaan, kita lalu memasuki perang ideologi. Di era global kini, kita dihadapkan pada perang budaya dan ekonomi. Apakah menyebut kujang masih relevan untuk itu?

Kujang memang bukan senjata untuk perang fisik, apalagi ideologi, budaya, dan ekonomi. Kujang adalah penjaga spirit orang Sunda. Dalam pandangan peneliti kujang, Tedi Permadi, “Kujang pamor sebagai sebuah gagaman atau pusaka, umumnya tidak digunakan secara langsung dalam sebuah perkelahian. Kujang biasanya dijadikan sebagai teman berperang (batur ludeung) atau senjata pamungkas di samping sebagai simbol dari si pemegangnya.”

Dalam perang apa pun, spirit dan semangat adalah yang utama. Senjata canggih memang penting, tetapi the man behind the gun, jauh lebih penting. Bagi orang Sunda, semangat keberanian itu telah diwariskan leluhurnya melalui simbol kujang. Sebagai generasi penerus Sunda kita dipenuhi oleh simbolisasi kujang itu. Menjadi wartawan, diingatkan pada kujang. Pergi bertempur melawan tentara Belanda, dibekali kujang. Dalam kecamuk perang ideologi, membela diri dengan koran bernama Kudjang.

Kini, dalam perang ekonomi dan budaya, spirit kujang itu terasa melemah. Apakah karena kujang secara fisik telah hilang dari bumi Pasundan dan dijual kepada kolektor asing? Ataukah para intelektual Sunda merasa tak peduli karena meremehkan nilainya? Gugatan pada melemahnya spirit hidup orang Sunda, saat ini semakin menguat. Buku mutakhir Judistira K. Garna (2008), Budaya Sunda Melintas Waktu Menantang Masa Depan, menjadi contohnya, bahwa etos kerja orang Sunda modern itu “melemah”. Daya tahan ekonomi orang Sunda berhenti pada generasi ketiga. Karena daya tahan ekonomi lemah, maka daya tahan budaya pun ikut melemah. Maka “terbanglah” pusaka-pusaka Sunda itu ke negeri asing ditukar lembaran dolar. Dan tinggallah orang Sunda menyesali, nganaha-naha, lalu menyalahkan orang lain.

Beruntung, kita masih memiliki sejumlah kolektor pituin Sunda, yang mengoleksi kujang karena kecintaan semata. Bukan karena uang melimpah atau untuk mengangkat gengsi hidup. Di tangan merekalah secara fisik, kujang diselamatkan. Dari koleksi fisik kujang itu pula diharapkan spiritnya dapat digali kembali.

Maka tidak salah jika Otista (1938) pernah berpesan, “Nonoman Sunda, geuwat bareunta, geuwat kukumpul tanaga jeung pakarang, nu diwangun ku kaweruh pangpangna adat tabeat anu kuat, nyaeta: kawekelan, kadaek, kakeyeng, karep jeung kawanen. Upama teu kitu, lapur, tanwande Nonoman Sunda kadeseh dina juritna pikeun neangan kahirupan. Para pemuda Sunda, cepat buka mata, cepat kumpulkan tenaga dan senjata, yang dibangun dengan pengetahuan adat tabiat yang kuat, yaitu: kesungguhan, kemauan, ketekunan, niat yang kuat dan keberanian. Kalau tidak demikian, akan sia-sia, pasti pemuda Sunda terdesak di medan perang dalam mencari penghidupan.”

Kekuasaan simbolik

Kini, kujang tetap menjadi bagian dari lambang Provinsi Jabar. Kujang menjadi bagian dari simbol politik kekuasaan tertinggi di Jabar. Gambar kujang ikut tersebar sejauh jangkauan para penguasa Gedung Sate. Jika orang Jabar melihat lambang kujang itu, ia akan menyadari dirinya, bahwa ia bagian dari Sunda. Oleh karena itu, sudah sepantasnya jika ia terdorong pula untuk ikut memuliakan kekayaan budaya Sunda. Setidaknya, ia termotivasi untuk bisa berbicara dalam bahasa Sunda.

Namun, apakah keberadaan kujang itu masih bermakna? Apakah masyarakat Jabar tahu maksudnya? Apakah para “penghuni” Gedung Sate tahu arti kujang dalam lambang itu?

Kalau dilihat dari buku-buku resmi yang menjelaskan arti lambang provinsi, makna kujang itu masih sangat terbatas. Sampai hari ini, buku yang secara khusus membahas kujang pun belum ada yang diterbitkan. Padahal, simbol kujang itulah yang secara spesifik menyambungkan Provinsi Jabar dengan identitas kesundaan. Sebab simbol lainnya lebih bersifat umum, yang bisa jadi ada dan dipakai di wilayah lain.

Jadi, apakah selama ini para penguasa Gedung Sate dan masyarakat Sunda telah “mengabaikan” simbol spiritnya sendiri? Dalam arti luas, apakah mereka kurang peduli kepada kelangsungan kebudayaannya sendiri? Maksudnya, perhatian yang fundamental, yang bukan sekadar seremoni. Contohnya seperti buku tentang kujang itu, mengapa belum ada, padahal sudah jadi lambang provinsi? Jawabannya, tentu bukan siapa yang salah, melainkan apa yang bisa kita perbuat untuk itu.

Sekarang, kita akan memiliki pemimpin baru hasil pemilu langsung yang pertama. Mari, kita mulai menggarap hal-hal yang fundamental itu. Menjelaskan lambang provinsi secara komprehensif, bisa menjadi langkah perdana. Agar visi-misi pemimpin Jabar mendatang tetap membumi, tidak mengambang dan mengawang-awang.

Munculnya kujang dalam lambang provinsi itu tentu bukan tanpa makna. Bukan hanya identitas Sunda yang kosong. Nah, apakah Gubernur dan Wakil Gubernur Jabar yang terpilih kali ini sudah mamahami makna simbolik kujang itu? Bahwa sebagai lambang, kujang itu bukan hanya menunjuk pada tegaknya kekuasaan, melainkan juga mengingatkan bahwa ia adalah pakarang para petani. Petani adalah mayoritas rakyat Jabar. Memahami makna kujang dengan benar, akan mengantar pemimpin Jabar untuk tegas memimpin sekaligus mengayomi rakyatnya. Begitukah?

Tidak ada komentar: